Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. (Dok. Kolase/ Istimewa)
Oleh : Dr. Chairul Hakim, SP, SE, MM – Dosen Universitas MH Thamrin, Jakarta
MEDIAINVESTIGASI.NET – Mungkin ini salah satu “dosa sosial” yang membuat Kang Dedi Mulyadi kerap dinilai tak cocok oleh mesin-mesin birokrasi formal. Tapi justru dari dosa itulah kita belajar makna kepemimpinan yang sebenarnya: menjadi manusia di antara manusia.
Di tengah dunia manajemen sumber daya manusia (SDM) yang kian rumit dengan istilah-istilah seperti KPI, talent acquisition, organizational behavior, dan employee experience—hadir seorang pria Sunda dengan iket kepala dan gaya bicara khas rakyat jelata. Ia tidak berbekal gelar HR Specialist, namun insting sosial dan kepedulian kulturalnya menjadikannya semacam “HRD lapangan” yang bekerja bukan di korporasi, tetapi di jalan-jalan perkampungan. Namanya: Kang Dedi Mulyadi.
HRD Rakyat: Tanpa Gelar, Tapi Penuh Gerak
Kang Dedi tidak menyusun job description formal, tidak mengukur kompetensi dengan matriks yang kompleks, dan tidak menggunakan perangkat lunak berbasis cloud. Tapi ia melakukan fungsi HRD paling esensial: memanusiakan manusia. Ia mendengarkan, memotivasi, memetakan potensi lokal, bahkan menyuntikkan harapan kepada mereka yang selama ini tidak dianggap sebagai “talenta.”
Dalam video-videonya yang viral, ia sering mendatangi orang-orang yang dilabeli “beban sosial”: pemulung, lansia sebatang kara, atau pengamen jalanan. Namun alih-alih menghakimi atau memberi sedekah sekali lalu pergi, ia berdialog, menyentuh batin, dan membuka jalan agar mereka tumbuh secara martabat. Dalam bahasa manajemen, itu disebut capacity building—tapi Kang Dedi menyebutnya cukup dengan “ngabantu sabisa-bisa.”
Inilah model kepemimpinan yang sulit dinalar elite. Maka, tak heran jika di atas kertas psikotes elite, ia “tidak lulus.”
Psikotes Elite dan Kacamata Sempit Birokrasi
Sebagai praktisi dan akademisi di bidang SDM, saya mafhum bahwa psikotes dibutuhkan dalam proses rekrutmen atau pengembangan karyawan. Namun yang kerap menjadi persoalan adalah ketika hasil tes dianggap sebagai satu-satunya kebenaran mutlak, sementara konteks sosial, pengalaman hidup, dan kepekaan emosional diabaikan.
Dalam standar elite, seorang pemimpin mesti tampil rapi, kalem, penuh kontrol, dan sesuai cetakan ideal organisasi. Tapi Kang Dedi menolak semua itu. Ia berisik dengan nilai, liar dengan empati, dan berani tidak netral demi rakyat kecil. Kriteria semacam ini sulit diukur lewat DISC, MBTI, atau Tes Wartegg. Maka jangan heran, bila psikotes elite menyatakan ia “tidak cocok.”
Namun masyarakat punya cara sendiri untuk “mengetes” pemimpinnya. Mereka tidak menilai dari skor IQ, tapi dari jejak kaki di tanah becek, keringat yang jatuh saat membersihkan got, atau mata yang berkaca-kaca saat mendengar cerita ibu tua yang ditinggal anaknya.
Kepemimpinan Organik: Pelajaran untuk HR Modern
Dalam teori kepemimpinan modern, kita mengenal konsep transformational leadership, di mana pemimpin menginspirasi, mendorong perubahan positif, dan menjadi role model. Namun Kang Dedi membawa kita ke level lebih mendasar: kepemimpinan organik—yang tumbuh dari akar rumput, menyatu dengan denyut rakyat, dan tidak memaksakan perubahan dari atas, tapi menumbuhkannya dari dalam.
Sebagai HRD di dunia pendidikan dan organisasi, saya menyadari bahwa seringkali kita terlalu fokus pada hasil: target, angka, grafik. Kita lupa bahwa sebelum menjadi karyawan atau talenta, seseorang adalah manusia—dengan trauma masa lalu, potensi tersembunyi, dan harapan yang kadang hanya butuh satu sentuhan empati untuk tumbuh.
Kang Dedi mengajari kita bahwa manajemen SDM bukan hanya tentang “mengelola manusia agar produktif,” tapi tentang membangun ruang agar manusia merasa berarti.
Humanisasi Organisasi: Bukan Sekadar Teori
Banyak organisasi saat ini meneriakkan “budaya perusahaan,” “employee well-being,” dan “inovasi berkelanjutan.” Tapi sayangnya, di ruang rapat yang mewah itu, kita terlalu sering lupa suara ibu penjaga kantin, sopir, atau satpam—mereka yang tak masuk dalam daftar talent pool, tapi justru memegang denyut kehidupan organisasi.
Kang Dedi menyapa mereka semua. Bahkan kerap berbicara dengan bahasa yang membingungkan elite, tapi sangat dipahami rakyat: bahasa rasa.
Bayangkan jika gaya kepemimpinan Kang Dedi diadopsi oleh para manajer SDM di perusahaan. Barangkali akan lahir HRD yang tidak hanya ahli asesmen, tapi juga punya keberanian untuk bertanya pada cleaning service: “Apa kabar Ibu hari ini?” Dan tidak malu untuk turun tangan saat ada karyawan magang menangis karena tekanan kerja.
Penutup: Daya Hidup dari Yang Tak Diperhitungkan
Kang Dedi Mulyadi mungkin tidak memenuhi standar elite. Tapi justru karena itulah ia hadir sebagai koreksi, sebagai cermin bagi kita semua yang terlalu percaya pada indikator formal, tapi lalai pada keutuhan manusia.
Ia tidak “lulus” dari psikotes elite, tapi “naik kelas” di mata rakyat. Ia bukan HRD korporat, tapi HRD rakyat. Dan di zaman yang semakin mekanistik ini, kita sangat membutuhkan lebih banyak HRD seperti beliau: yang tak hanya bekerja dengan kepala, tapi juga dengan hati.
Karena sesungguhnya, mengurus manusia bukan soal kontrol, tapi soal kepedulian. Dan Kang Dedi sudah mempraktikkannya, jauh sebelum teori-teori SDM kita temukan di bangku kuliah.
Editor: Shendy Marwan