Opini

Tugu yang Kehilangan Identitas, Antara Salak, Bangkuang, dan Imamah

123
×

Tugu yang Kehilangan Identitas, Antara Salak, Bangkuang, dan Imamah

Sebarkan artikel ini

Tugu Salak. (Dok. Istimewa)

Oleh : Dr. Chairul Hakim, SP, SE, MM – Dosen Universitas MH Thamrin, Jakarta

MEDIAINVESTIGASI.NET – Di tengah gegap gempita modernisasi Jakarta Timur, Condet masih menyimpan denyut sejarah dan warisan budaya Betawi yang kental. Salah satu simbol yang ingin diangkat sebagai identitas kawasan ini adalah Tugu Salak, ikon yang dimaksudkan merepresentasikan kejayaan buah salak Condet—yang dulu tersohor hingga menjadi simbol agrikultur urban ibu kota.

Namun harapan tak selalu sejajar dengan kenyataan. Tugu yang telah dibangun itu malah memicu polemik. Alih-alih menyerupai salak, ia malah tampak seperti bangkuang raksasa, atau bahkan menyerupai imamah (sorban) yang berbeda dengan narasi local atau awal pembuatnnya. Fenomena ini mengundang pertanyaan: bagaimana sebuah simbol bisa begitu jauh melenceng dari identitas yang ingin ia wakili?

Simbol yang Salah Tafsir: Gagal Pahami Makna Lokal

Dalam filsafat manajemen sumber daya manusia, simbol adalah jembatan antara nilai dan perilaku organisasi. Edgar Schein menyebut simbol sebagai artefak budaya—manifestasi fisik dari nilai-nilai tak terlihat. Dalam konteks ini, Tugu Salak semestinya menjadi artefak dari nilai-nilai khas Condet: kesahajaan, keberagaman, kearifan lokal, dan sejarah agrikultur Betawi.

Namun ketika simbol yang dihadirkan justru menimbulkan ambiguitas visual dan kegagalan representasi, hal itu menunjukkan adanya kegagalan pada tingkat yang lebih mendasar: manajemen makna.

Manajemen makna (meaning management) adalah prinsip penting dalam manajemen SDM kontemporer. Kita tidak cukup membangun struktur—kita harus mengelola narasi, menginternalisasi nilai, dan membangun keterlibatan (engagement) publik terhadap simbol yang dibentuk. Dalam kasus Tugu Salak, alih-alih membangkitkan rasa bangga, ia malah mengundang kebingungan dan kritik. Ini bukan sekadar soal bentuk, tapi tentang crisis of symbolic leadership.

Baca Juga :  Dharmasraya Tak Masuk RPJMN 2025-2029: Janji Sejahtera Anisa–Leli di Ujung Tantangan

Condet: Ruang Kultural yang Terpinggirkan

Sebagai kawasan budaya Betawi yang kini dikepung urbanisasi dan komersialisasi, Condet menghadapi dilema eksistensial. Identitasnya perlahan luntur. Di sinilah pentingnya place branding yang otentik dan strategis—yakni membangun kembali identitas kawasan berdasarkan akar sejarah, bukan semata-mata estetika modern yang dangkal.

Dalam pendekatan strategic HR and organizational development, kita diajarkan untuk tidak sekadar memoles citra, tapi membangun kembali sense of purpose dalam organisasi. Tugu yang dibangun di Condet seharusnya menjadi simbol dari semangat membangkitkan kembali identitas kawasan, bukan menjadi potret dari keterputusan antara masa lalu dan masa kini.

Antara Imamah dan Salak: Manajemen Visual dan Makna

Ketika warga menyebut tugu itu menyerupai imamah, memang ada tafsir religius dan nuansa Arab yang muncul. Dalam tradisi Islam, imamah adalah simbol kehormatan dan kepemimpinan, terutama dalam konteks ulama dan kebudayaan Timur Tengah. Namun di sinilah pentingnya konteks: Condet memang punya akar sejarah Arab yang kuat—baik dalam kultur, bahasa, maupun peran tokoh agama. Tapi kekuatan lokal Condet juga terletak pada hibriditasnya—persenyawaan antara Betawi, Arab, dan nusantara.

Maka ketika simbol imamah digunakan tanpa kejelasan naratif atau penjelasan historis, ia berisiko menjadi bentuk cultural displacement alih-alih penghormatan. Bukan karena unsur Arabnya bermasalah—justru peran komunitas Arab di Condet sangat vital—melainkan karena simbol itu tidak diorkestrasi dalam komunikasi publik yang jelas dan membumi.

Dalam kerangka organizational communication, kegagalan seperti ini adalah contoh klasik dari visual misalignment: ketika pesan simbolik tidak selaras dengan nilai yang ingin diusung, maka yang terjadi adalah disorientasi, misinterpretasi, dan bahkan konflik tafsir. Dalam manajemen SDM, ini sama halnya seperti kebijakan internal yang dibuat tanpa mendengar suara karyawan—berujung pada rendahnya engagement dan hilangnya kepercayaan terhadap pemimpin.

Baca Juga :  Pimred Media Investigasi Net Jadi Pemateri Workshop Ke 4 Bersama Siswa SMAN 1 Kolaka Menuju Generasi Emas 2024 Kabupaten Kolaka Sultra 

Tugu bukan sekadar bangunan. Ia adalah public statement. Dan setiap pernyataan publik harus dirancang dengan clarity (kejelasan bentuk dan pesan), coherence (kesesuaian makna dengan konteks budaya), dan community relevance (keterhubungan dengan nilai-nilai warga lokal—termasuk komunitas Arab Betawi yang selama ini menjadi penjaga warisan Condet).

Mengapa kita Harus Peduli pada Tugu?

Pertanyaan ini mungkin muncul: mengapa dosen manajemen SDM seperti saya berbicara soal tugu? Karena tugu adalah produk kebijakan publik yang mencerminkan cara berpikir organisasi pemerintah. Jika simbol publik bisa meleset sejauh ini, bayangkan bagaimana proses internal di baliknya: apakah ada stakeholder engagement? Apakah masyarakat Condet diajak bicara? Apakah nilai budaya dijadikan dasar desain?

Dalam manajemen SDM yang filosofis, kita diajarkan bahwa manusia adalah makhluk makna. Maka tugas kita sebagai pengelola organisasi publik adalah memastikan bahwa setiap kebijakan, simbol, dan ruang publik menghadirkan makna yang membangun, bukan membingungkan.

Saatnya Kembali ke Akar

Tugu Salak seharusnya menjadi ajakan untuk kembali ke akar—bukan hanya akar pohon salak, tapi akar sejarah, akar budaya, dan akar identitas kawasan. Condet tidak butuh bangunan mewah. Ia butuh simbol yang jujur, yang tumbuh dari tanah yang ia pijak, dan mencerminkan masyarakat yang ia wakili.

Membangun simbol itu seperti membangun manusia: bukan sekadar tampilan luar, tapi menyatu antara bentuk, makna, dan tujuan.

Editor: Shendy Marwan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *