BeritaDaerahPolitik

Rumah Gadang yang Sunyi : Dharmasraya di Bawah Kepemimpinan Perempuan dan Dinamika Politik Usai Pilkada 2024

350
×

Rumah Gadang yang Sunyi : Dharmasraya di Bawah Kepemimpinan Perempuan dan Dinamika Politik Usai Pilkada 2024

Sebarkan artikel ini

Gambar Ilustrasi Rumah Gadang suku Minangkabau (dok, istimewa)

 

Dharmasraya, Mediainvestigasi.net-Di tengah sunyi Rumah Gadang yang biasanya menjadi pusat kehidupan dan kearifan lokal, bayang-bayang perubahan besar menghampiri Dharmasraya.

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 menjadi babak baru bagi kabupaten ini, sebuah momen ketika tradisi dan modernitas beradu dalam pertarungan sengit. Apalagi ketika untuk pertama kalinya, kekuatan politik dipimpin oleh seorang perempuan, menantang adat Minangkabau yang begitu kuat berakar pada falsafah matrilineal, namun dengan kepemimpinan dan keputusan yang cenderung dipegang oleh laki-laki.

Di rumah-rumah gadang yang dulu ramai dengan percakapan adat, kini hening. Tak terdengar lagi gema diskusi Niniek Mamak, Alim Ulama, atau Cadiek Pandai. Mereka, yang seharusnya menjadi benteng penjaga budaya dan kearifan lokal, tampaknya perlahan tunduk pada kekuatan politik dan kekuasaan. Di satu sisi, masyarakat masih menjunjung tinggi adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah sebuah keseimbangan antara adat dan agama. Namun, di sisi lain, dominasi politik mengikis otoritas para pemimpin adat ini.

Pilkada 2024 mungkin akan menjadi pemantik perubahan besar Ada satu pertanyaan yang menggema : Bagaimana nasib Dharmasraya usai Pilkada 2024?

Politik yang Mengikis Budaya Minangkabau.

Sejak dahulu, Minangkabau dikenal dengan tradisi matrilinealnya, di mana garis keturunan dihitung dari pihak ibu. Meski begitu, kepemimpinan tradisional selalu dipegang oleh para tokoh laki-laki, terutama dalam hal pengambilan keputusan di tingkat adat dan politik. Namun, dengan semakin banyaknya perempuan yang memasuki arena politik, termasuk di Dharmasraya, batas antara peran adat dan politik mulai memudar.

Jika seorang perempuan, seperti kandidat yang telah lama digadang-gadang untuk mencalonkan diri, memenangkan Pilkada 2024, perubahan besar menanti. Ini bukan hanya tentang siapa yang memimpin, tetapi juga bagaimana masyarakat Minangkabau yang konservatif akan merespons.

Baca Juga :  Fezzi Oktolseja: Transformasi Kota Manggar ke Kota Jasa dengan Pintu Masuk Pelabuhan".

Dalam politik, perempuan dianggap membawa perspektif berbeda, terutama dalam hal kebijakan yang menyentuh kesejahteraan sosial, pendidikan, dan kesehatan. Namun, di balik itu, ada juga tantangan besar : Apakah kehadiran seorang perempuan di puncak kekuasaan mampu mempertahankan keseimbangan antara politik dan adat?

Tunduknya Niniek Mamak dan Para Tetua Adat.

Dalam beberapa dekade terakhir, kekuatan politik memang semakin menggeliat, menggeser otoritas para tokoh adat. Niniek Mamak, Alim Ulama, Cadiek Pandai, tokoh-tokoh yang dahulu memiliki suara kuat dalam masyarakat kini tampak semakin lemah dalam menghadapi pengaruh politik. Kebijakan yang dulunya perlu melalui pertimbangan adat, kini lebih sering diambil di ruang rapat, bukan di balai adat.

Ketika politik berbicara tentang kepentingan, ekonomi, dan kekuasaan, suara-suara adat terdengar semakin lemah. Para pemimpin adat yang dulunya menjadi pelindung moral masyarakat, kini terlihat terpinggirkan. Pertanyaan yang muncul adalah : Apakah politik yang semakin kuat ini akan menggantikan adat sebagai pedoman utama kehidupan masyarakat Dharmasraya?

Di tengah gelombang perubahan, ada kekhawatiran bahwa adat Minangkabau perlahan terkikis. Adat yang selama ini menjadi fondasi kehidupan masyarakat bisa saja tergeser oleh politik yang lebih mengutamakan pragmatisme.

Nasib Dharmasraya Usai Pilkada 2024.

Pilkada 2024 menjadi titik kritis bagi Dharmasraya. Jika politik terus mendominasi tanpa mempertimbangkan nilai-nilai adat, maka kita mungkin akan melihat Dharmasraya yang sangat berbeda di masa depan. Rumah Gadang yang sunyi mungkin menjadi simbol dari terkikisnya tradisi lokal, saat masyarakat semakin sibuk dengan politik, kekuasaan, dan ekonomi, sementara nilai-nilai adat terabaikan.

Namun, ini juga bisa menjadi peluang bagi pembaruan. Jika kepemimpinan perempuan ini mampu menjembatani politik dan adat, maka mungkin Dharmasraya bisa menemukan keseimbangan baru. Seorang pemimpin perempuan bisa membawa angin segar dengan pendekatan yang lebih inklusif dan humanis, menyatukan nilai-nilai adat dengan tuntutan modernitas.

Baca Juga :  Warga Nunca Kembali Dihebohkan dengan Kasus Gantung Diri Seorang Pria Asal Banggai di Pohon Kayu

Apapun hasilnya, Dharmasraya pasca Pilkada 2024 akan menghadapi tantangan besar. Baik itu dalam hal mempertahankan identitas lokal, menjaga keseimbangan adat dan politik, maupun dalam menciptakan kepemimpinan yang kuat namun tetap berakar pada kearifan lokal.

 

Tantangan bagi pemimpin berikutnya bukan hanya soal memajukan ekonomi atau memenangkan politik, tetapi juga bagaimana menjaga ruh dari Rumah Gadang yang kini sunyi, agar tetap menjadi tempat bernaungnya nilai-nilai luhur yang selama ini memandu masyarakat Dharmasraya.

Akankah Dharmasraya Mampu Menemukan Keseimbangan?

Dalam dinamika ini, jawaban atas pertanyaan tersebut tak hanya berada di tangan para pemimpin politik, tapi juga di pundak seluruh masyarakat. Tradisi Minangkabau adalah kekayaan yang tak ternilai, namun modernitas dan politik tak bisa dihindari. Maka, bagaimana masyarakat memilih untuk menavigasi masa depan mereka setelah Pilkada 2024 akan menentukan nasib Dharmasraya.

Di sinilah letak ujian terbesar : menjaga agar politik tidak melunturkan kearifan lokal, melainkan memperkuatnya.

Editor: Yanti

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *