Suasana berbuka puasa bupati dan wakilnya bersama jajaran pemkab dan tokoh masyarakat di auditorium (03/03) (Dok, Istimewa)
Dharmasraya, Mediainvestigasi.net – Dua isu besar mengguncang Dharmasraya: absennya dalam RPJMN 2025-2029 dan sikap Bupati terhadap pers yang menuai kecaman. Apakah ini hanya kebetulan atau ada benang merah yang lebih dalam?
Mimpi Pembangunan yang Terhenti di Pintu RPJMN
Dharmasraya, sebuah kabupaten yang dulu digadang-gadang sebagai pusat pertumbuhan baru di Sumatera Barat, kini harus menerima kenyataan pahit: namanya tidak tercantum dalam daftar prioritas pembangunan nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.
Keputusan ini bukan sekadar catatan administratif. Ini adalah alarm bagi pembangunan daerah yang kini terancam stagnasi. Tanpa masuk dalam RPJMN, peluang Dharmasraya untuk mendapatkan aliran dana dan proyek strategis dari pusat menjadi semakin tipis. Infrastruktur, kesehatan, pendidikan, hingga sektor ekonomi—semuanya bisa tertahan dalam ketidakpastian.
“Tentu kami sangat kecewa. RPJMN ini sangat penting bagi daerah kami. Tanpa dukungan dari pusat, sulit bagi kami untuk mengejar ketertinggalan,” ujar seorang tokoh masyarakat Dharmasraya yang merasa pemerintah daerah gagal melakukan diplomasi pembangunan.
Tak sedikit yang mempertanyakan mengapa Dharmasraya absen. Apakah karena lemahnya lobi ke pemerintah pusat? Atau ini bukti bahwa visi pembangunan daerah tidak cukup kuat untuk menarik perhatian pusat?
Sementara jawaban atas pertanyaan itu masih menggantung, perhatian publik justru teralihkan ke sebuah kontroversi yang meledak di ruang digital—sebuah peristiwa yang justru berisiko semakin mencoreng wajah Dharmasraya di tingkat nasional.
“Wartawan Bodrex” dan Krisis Kepercayaan terhadap Kepemimpinan Bupati
Di tengah kekecewaan akibat absennya Dharmasraya dalam RPJMN, muncul sebuah video TikTok yang menggegerkan. Akun Arjuna Nusantara mengunggah sebuah video yang menuding berita buka puasa Bupati Anisa Suci Ramadani bersama tokoh masyarakat sebagai fitnah. Tidak hanya itu, narasi dalam video tersebut juga menyebut istilah “wartawan bodrex”—sebuah istilah bernada merendahkan yang biasanya digunakan untuk menyebut jurnalis yang dianggap tidak profesional.
Alih-alih meredakan situasi dengan klarifikasi yang bijak, respons Bupati justru memperkeruh keadaan. Melalui Dinas Kominfo, ia meminta wartawan terkait memberikan hak jawab dan permintaan maaf tertulis di medianya masing-masing. Tak berhenti di situ, surat somasi pun dilayangkan, dan isu pelaporan ke pihak hukum mulai mencuat.
Pernyataan ini sontak menuai reaksi keras. Organisasi wartawan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, aktivis pers, hingga masyarakat luas mengecam tindakan Bupati yang dianggap sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan pers.
“Kami sangat menyayangkan pernyataan tersebut. Wartawan adalah mitra pemerintah dalam menyampaikan informasi kepada publik. Sebutan ‘wartawan bodrex’ jelas merendahkan profesi kami,” tegas Ketua Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI) cabang Dharmasraya, Rijal Af.
Pers adalah pilar demokrasi. Sikap seorang kepala daerah yang tidak menghargai peran media bisa menjadi sinyal buruk bagi keterbukaan informasi dan transparansi kebijakan. Jika pers dikriminalisasi, siapa lagi yang bisa mengawasi jalannya pemerintahan?
Benang Merah: Ketidakefektifan Komunikasi dan Krisis Kepemimpinan?
Dua isu ini—gagalnya Dharmasraya masuk RPJMN dan kontroversi “wartawan bodrex”—sebenarnya tidak berdiri sendiri. Keduanya mengarah pada satu benang merah: lemahnya komunikasi pemerintahan Bupati Anisa Suci Ramadani.
Di satu sisi, absennya Dharmasraya dalam RPJMN menunjukkan minimnya lobi dan koordinasi dengan pemerintah pusat. Di sisi lain, konflik dengan wartawan menunjukkan bahwa komunikasi dengan media pun tak dikelola dengan baik. Dua aspek yang seharusnya menjadi prioritas dalam kepemimpinan daerah justru berantakan dalam waktu yang hampir bersamaan.
“Ini menjadi evaluasi penting bagi kepemimpinan Bupati Anisa Suci Ramadani. Beliau perlu memperbaiki komunikasi dengan semua pihak agar pembangunan Dharmasraya tidak terhambat,” ujar seorang pengamat politik lokal.
Jika masalah ini tidak segera diselesaikan, dampaknya bisa lebih jauh dari sekadar kegagalan masuk RPJMN atau kontroversi media. Ini bisa berujung pada hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan daerah—sesuatu yang jauh lebih sulit diperbaiki dibandingkan sekadar pencitraan politik.
Hingga berita ini diturunkan, Bupati belum memberikan pernyataan resmi terkait dua isu yang terus menjadi perbincangan hangat ini. Yang jelas, Dharmasraya sedang berada di persimpangan: antara memperbaiki komunikasi atau terus terperosok dalam krisis kepemimpinan.
Editor: Yanti